Skip to main content

Pulau Padaidori, di Kabupaten Biak Numfor, Papua — sebuah pulau kecil yang kaya akan flora dan fauna, mulai dari darat, pesisir, hingga laut — membuktikan bahwa menjaga laut tidak selalu membutuhkan teknologi canggih atau aturan yang rumit. Di sini, laut dilindungi dengan iman, adat, dan kolaborasi masyarakat.

Di tengah krisis iklim dan menurunnya stok ikan, Padaidori menghadirkan harapan — bahwa pengelolaan laut berbasis nilai-nilai lokal tidak hanya mungkin, tapi juga efektif. Warga telah lama menjalankan dua sistem pengelolaan: Sasisen Buka-Tutup yang ditetapkan oleh gereja, dan Sasisen Permanen, yang kini menjadi dasar kawasan larang tangkap permanen atau bank ikan.

Mereka tidak menunggu proyek datang. Mereka tidak bergantung pada insentif luar. Mereka melindungi laut karena itu bagian dari iman, warisan adat, dan tanggung jawab terhadap anak cucu. Ini adalah konservasi rendah biaya, tinggi komitmen — dan bisa menjadi model nasional.

Kini saatnya pemerintah dan para mitra berhenti mengabaikan upaya-upaya seperti ini. Sudah waktunya kebijakan nasional dan daerah mengakui, menghormati, dan mendukung wilayah kelola adat seperti Padaidori. Model ini nyata, berjalan, dan terbukti berhasil — tinggal diperkuat dan direplikasi.

Sasisen: Iman dan Adat dalam Menjaga Laut

Di Pulau Padaidori, masyarakat adat telah lama mengelola laut mereka dengan dua sistem utama: Sasisen Buka-Tutup, yang dipimpin oleh gereja dan komunitas, serta Sasisen Permanen, yang menjadi dasar penetapan wilayah larang tangkap permanen atau bank ikan. Sistem ini berjalan tanpa insentif dari luar, dan telah melindungi ekosistem penting seperti terumbu karang, padang lamun, dan mangrove.

“Kami percaya laut juga butuh waktu untuk istirahat. Kalau terlalu sering diambil, habis juga berkahnya.”
Dantje Rumborias, Mananwir Er

Sejak 1963, Jemaat GKI Yahya Sasari-Anobo menetapkan waktu “tutup” di Telaga (laguna) Deredori. Selama masa ini, masyarakat dilarang mengambil hasil laut. Setelah beberapa bulan, kawasan “dibuka” kembali. Penentuan siklus buka-tutup ini disesuaikan dengan kalender keagamaan dan musim alam. Masyarakat mematuhi aturan ini bukan karena sanksi, tetapi karena keyakinan — bahwa ketaatan akan mendatangkan hasil panen yang melimpah.

“Kami tidak perlu pagar atau patroli. Sejak sasisen gereja diberlakukan, kami percaya bahwa siapa pun yang melanggar akan menanggung akibatnya. Pernah ada yang dengan sengaja memasuki kawasan sasisen gereja, mengalami gangguan kerusakan motor tempel.”
Frans Rumboryas, Sekretaris Jemaat GKI Yahya Sasari-Anobo

Pada tahun 2009, pemerintah kampung dan para mananwir adat menetapkan larang tangkap permanen seluas 300 meter dari batas tubir ke arah laut, mengelilingi seluruh pulau. Kawasan ini dikenal sebagai bank ikan. Gereja, adat, dan pemerintah kampung bekerja bersama — tanpa tumpang tindih — untuk menjaga kawasan ini. Ketika adat menyampaikan nilai dan larangan melalui ritual, pemerintah kampung mendukung dengan peraturan kampung dan sosialisasi.

“Kami tidak menunggu proyek datang. Kami mulai dulu, karena laut ini milik anak cucu kami.”
Felix Eliezer Weyai, Mananwir Mnu Sasari An Nobo

Tantangan: Ketika Nilai Lama Bertemu Dunia Baru

Meski sistem ini terbukti berhasil, masyarakat Padaidori menghadapi tantangan besar. Alat tangkap modern dan tekanan eksternal mulai merusak keseimbangan. Pengetahuan lokal pun terancam punah, terutama di kalangan generasi muda yang lebih tertarik pada teknologi dibanding belajar cara-cara lama.

“Alat tangkap modern semakin banyak, kapal dari luar masuk dan menggunakan kompresor untuk mengambil ikan, dan anak-anak muda lebih tertarik dengan teknologi daripada belajar cara lama. Ini tantangan besar bagi kami.”
Dorus Rumbewas, Sekretaris Kampung Yeri

Peran ILMMA: Menguatkan yang Sudah Kuat

Menjawab tantangan ini, ILMMA hadir pada tahun 2024 untuk mendampingi masyarakat Padaidori meregulasikan dan menulis ulang aturan adat yang sebelumnya hanya disampaikan secara lisan. Dengan bantuan ILMMA, aturan ini didokumentasikan dan diperkuat dalam bentuk Peraturan Kampung yang memiliki kekuatan hukum.

Peraturan adat yang diperkuat hukum kampung membuktikan bahwa nilai-nilai lokal bisa berdampingan dengan sistem formal. Ini bukan mengganti, tapi menguatkan. Legitimasi terhadap sistem adat semakin diakui dan memberikan perlindungan terhadap wilayah laut adat mereka.

Apa yang Bisa Dilakukan Pemerintah dan Mitra Sekarang

Model seperti Padaidori bukan hanya nyata dan berjalan — tapi juga terbukti berhasil. Sekarang tinggal didukung secara struktural. Upaya yang dilakukan masyarakat perlu diakui keberadaannya oleh pemerintah, dan dapat diadopsi menjadi kebijakan daerah dan nasional.

“Pemerintah perlu lebih mendukung inisiatif lokal ini dengan kebijakan yang mengakui hak masyarakat adat terhadap laut mereka.”

Costant Rumabar, Mananwir Sup Mnuk An Nobo – Padaido

Pemerintah dapat mendukung replikasi model Padaidori di wilayah adat lainnya di Papua dan Maluku, dengan tetap menghormati sistem lokal yang sudah terbukti berhasil. Mengakui wilayah kelola adat melalui peraturan daerah memperkuat posisi masyarakat dalam mengelola sumber daya mereka, sekaligus mendukung pencapaian target-target konservasi nasional.

(ST/RK)
Copyright 2025 Yayasan Pengelolaan Lokal Kawasan Laut (ILMMA). Hak cipta dilindungi undang-undang. Setiap kutipan harus menyebutkan ILMMA sebagai sumber.