Tanah dan laut itu tahu siapa pemiliknya. Kalau ko ambil dari tempat yang bukan ko punya hak, baik di darat maupun di laut, itu tidak akan menjadi berkat,” kata Constant Rumabar, Mananwir Sup Mnuk An Nobo-Padaido dengan nada pelan namun penuh keyakinan.
Pulau Padaidori—pulau terluar dan paling timur dari Kabupaten Biak Numfor, Papua—adalah wilayah yang jauh dari pusat kota, namun kaya akan nilai-nilai adat dan pengetahuan ekologis. Di sini, tanah dan laut bukan sekadar ruang hidup; mereka adalah warisan leluhur yang hidup, dijaga, dan dihormati. Nilai-nilai adat, spiritualitas, dan keberlanjutan saling bertaut dalam satu kesatuan utuh yang diwariskan lintas generasi.
Warisan Leluhur: Supri Manggun dan Babobasuser
Masyarakat adat Pulau Padaidori—yang tinggal di kampung-kampung seperti Sasari, Anobo, Yeri, dan Mnupisen (Padaido)—telah mempraktikkan sistem pembagian lahan dan tata kelola wilayah secara turun-temurun. Hak kepemilikan wilayah darat dan laut diatur oleh kelompok komunitas adat yang disebut Supri Manggun. Sementara itu, hak pakai disebut Babobasuser—sebuah mekanisme berbagi akses berdasarkan hubungan kekerabatan antara saudara laki-laki dan perempuan.
Sistem ini bukan sekadar pembagian sumber daya, tetapi juga penguatan struktur sosial, menjaga keharmonisan, dan melindungi hak-hak adat secara adil dan lestari.
“Menjaga warisan budaya bukan sekadar melestarikan tradisi atau identitas, tapi tanggung jawab besar bagi seluruh masyarakat adat Padaidori untuk masa depan,” jelas Constan Rumabar, Mananwir Sup Mnuk An Nobo-Padaido dalam pertemuan kampung bersama warga Sasari dan Anobo.
Sup: Ruang Hidup yang Penuh Makna
Bagi masyarakat adat Padaidori, pemanfaatan ruang—atau sup dalam bahasa Byak—memiliki fungsi yang sangat penting. Sup darat dimanfaatkan untuk berkebun, berburu, mengambil kayu untuk membangun rumah, membuat perahu, alat musik, serta mencari tanaman obat dan kayu bakar. Sementara laut (soren) adalah sumber pangan dan penghidupan utama: tempat menangkap ikan, kerang, gurita, teripang dan biota laut lain yang menopang ekonomi keluarga.
Batas-batas sup ditentukan oleh tanda alam—seperti pohon besar, batu dan diakui secara kolektif oleh komunitas. Pengetahuan ini diwariskan dari generasi ke generasi dan dijaga dengan teguh.
“Kami pakai pohon besar, batu, dan jalan sebagai batas—itu warisan dari orang tua. Kalau dilanggar, tanah tidak akan memberi hasil,” jelas Yulyanus Rumbarar, Mananwir Keret Rumbarar Kampung Yeri.
Akses, Keadilan, dan Pelestarian Adat
Sistem ini menyeimbangkan antara hak kepemilikan dan akses inklusif. Semua anggota masyarakat adat memiliki hak untuk memanfaatkan laut secara umum, kecuali area yang sedang disasisen (ditutup untuk pemulihan sumber daya). Ini adalah bentuk pelestarian adat yang efektif dan berkelanjutan—praktik konservasi lokal jauh sebelum konsep “ekologi” dikenal luas.
Melanggar batas sup bukan hanya pelanggaran sosial, tetapi juga diyakini akan mendatangkan ketidakharmonisan. “Tanah bisa dengar,” kata mereka. Dan bila dilanggar, hasil panen berkurang.
Kalau melanggar batas kebun, hasilnya jelek. Kami sudah pernah mengalaminya. Karena itu, kami jaga dengan baik—tanah dan laut adalah sumber hidup kami,” kata Yustus Weyai, Sekretaris Kampung Anobo
Penguatan Tradisi, Bukan Penggantian
Seiring modernisasi dan melemahnya keterikatan generasi muda terhadap tradisi, sistem ini menghadapi tantangan besar. Di sinilah LMMA Indonesia hadir sebagai mitra yang memberikan penguatan kepada masyarakat. Pada tahun 2024, LMMA Indonesia kembali mengunjungi dan bekerja bersama masyarakat adat Padaidori untuk mendokumentasikan aturan adat secara tertulis, agar tidak hilang ditelan zaman.
Aturan ini menjadi dasar legal dan sosial untuk menjaga wilayah adat mereka—dan menjadi jembatan penting untuk menghubungkan generasi muda dengan nilai-nilai luhur leluhurnya. Dengan memiliki regulasi adat tertulis, masyarakat tidak hanya mempertegas hak dan tanggung jawab mereka, tetapi juga memiliki alat yang sah untuk mempertahankan wilayah dari ancaman eksternal.
“Amber – orang luar – datang dengan kapal besar dan alat canggih. Mereka ambil semua ikan, kami hanya bisa melihat. Kita harus segera buat peraturan. Kalau tidak, laut ini akan hilang dari anak cucu,” tegas Yulius Weyai, Tokoh Pemuda Kampung Anobo.
Dari Padaidori untuk Dunia
Tata kelola sup oleh masyarakat adat Padaidori adalah pelajaran penting: bahwa keberlanjutan bisa tumbuh dari akar, bukan hanya dari kebijakan luar. Ketika dunia mencari cara untuk melindungi laut dan hutan, Pulau Padaidori telah memiliki jawabannya sejak dulu. Ini adalah kekuatan lokal yang relevan secara global.
Dukung Penguatan Adat, Lindungi Masa Depan Laut Kita
ILMMA percaya bahwa konservasi yang efektif berakar dari komunitas. Dengan mendukung sistem tata kelola adat seperti di Padaidori, kita turut menjaga laut, memperkuat identitas budaya, dan mewariskan warisan ekologis untuk generasi berikutnya. Mari perkuat pengelolaan berbasis adat untuk laut yang sehat dan adil.
(ST/EK)
Copyright 2025 Yayasan Pengelolaan Lokal Kawasan Laut (ILMMA). Hak cipta dilindungi undang-undang. Setiap kutipan harus menyebutkan ILMMA sebagai sumber.